Minggu, 20 Maret 2016

makalah tentang dilalah

BAB I
PENDAHULUAN

       A. Latar Belakang Masalah
Sumber hukum utama umat islam adalah al-qur’an dan al-hadist, karena dari dua pedoman itu sangat banyak terkandung petunjuk hidup yang terdapat di dalamnya, baik itu petunjuk hidup kita di dunia yang sangat beragam mulai dari kita lahir sampai kita meninggal, dan juga sebagai petunjuk bagaimana menuju jalan akhirat dengan mendapatkan keridhaan Allah swt. Al-qur’an dan hadis yang dijadikan sebagai sumber hukum memberikan berbagai pengertian yang dapat digali dari berbagai lafaz-lafaz yang terdapat didalamnya. Nah untuk menggali dan mengenali bagaimana kita bisa lebih paham terhadap lafaz-lafaz tersebut maka dapat dipahami melalui metode kajian “dilalah lafziyah dan dilalah ghairu lafzhiyah”. Kedua dilalah ini apabila ditinjau dari segi bentuk dalil yang digunakan dalam mengetahui sesuatu lafaz yang terdapat dalam al-qur’an dan sunnah, sebagaimana dijelaskan di dalam buku bapak Amir Syarifuddin.
            Defenisi dari dilalah itu sendiri secara umum adalah ”memahami sesuatu atas sesuatu”. Yang dimaksud dengan sesuatu yang pertama disebut dengan “ madlul” (yang ditunjuk) atau dimaksud dengan hukum itu sendiri. Sedangkan kata sesuatu yang  kedua disebut dengan dalil hukum atau yang menjadi petunjuk.  Menurut ulama hanafiah bahwasannya dilalah ini dibagi kepada dua macam, pertama dilalah lafzhiyah dan kedua dilalah ghairu lafzhiyah. Untuk lebih jelasnya apa itu yang disebut lafaz ghairu lafzhiyah tersebut maka nanti kami jelaskan secara lebih mendetail di bab pembahasan.
            Di dalam makalah ini penulis lebih memfokuskan pembahasan tentang bagaimana dan apa-apa saja yang termasuk ke dalam dalalah ghairu lafzhiyah menurut golongan Hanafiyah. Harapan kami yang sebesar-besarnya kepada pembaca,  Karena makalah ini masih tidak luput dari kekurangan baik itu dari segi isi (materi), walaupun dari cara penulisannya, supaya pembaca memberikan sebuah kritikan dan saran yang bersifat konstruktif.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Dan Macam-Macam Dilalah
                Dilalah adalah petunjuk yang menunjukkan kepada yang di maksudkan atau memahami sesuatu atas sesuatu. Kata sesuatu yang disebutkan pertama disebut Madlul (المدلول) - yang ditunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, yang disebut madlul adalah hukum itu sendiri. Kata sesuatu yang disebutkan kedua kalinya disebut dalil  (دليل) - yang menjadi petunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum dalil itu disebut dalil hukum. Di dalam Al Misbah Al Munir, dijelaskan bahwa :
الدلالة مايقتضيه اللفظ عند الإطلاق
            “Dalalah adalah apa yang dikehendaki oleh lafal ketika lafal itu diucapkan secara mutlaq”.[1]
            Ditinjau dari segi bentuk dalil yang digunakan dalam mengetahui sesuatu, dilalah itu ada dua macam: 

            1. Dilalah lafzhiyyah (الدِلَالَةُ اللَّفْظِيَّةُ) (penunjuk berupa lafaz) Yaitu dilalah dengan dalil yang digunakan untuk memberi petunjuk kepada sesuatu dalam bentuk lafaz, suara atau kata.[2] Dengan demikian, lafaz, suara dan kata menunjukkan kepada maksud tertentu. Penunjukannya pada maksud tertentu itu diketahui melalui tiga hal:
a)    Melalui hal yang besifat alami yang menunjukkan pada maksud tertentu yang dapat diketahui oleh setiap orang diseluruh alam ini.
Contohnya: “Rintihan”, maksudnya adalah yang keluar dari mulut seseorang adalah memberi petunjuk bahwa orang yang mengeluarkan suara rintihan itu berada dalam kesakitan. Penunjukkan dilalah seperti ini disebut thabi’iyyah
b)   Melalui akal. Maksudnya, dengan perantaraan akal pikiran seseorang dapat  mengetahui  bahwa suara  atau  kata  yang  didengarnya  memberi  petunjuk  pada  maksud tertentu. Contohnya: suara kendaraan menunjukkan  adanya bentuk kendaraan tertentu yang lewat dibelakang rumah itu. Dengan adanya “suara” itu dapat dicerna oleh akal bahwa suara  itu  adalah  suara kendaraan jenis tertentu, meskipun kendaraan itu belum dilihat secara nyata. Penunjukan secara suara tersebut dinamai “aqliyah” (عَقْلِيَّةُ)
c)    Melalui istilah yang dipahami dan digunakan bersama untuk maksud tertentu. Contohnya: kalau kita mendengar ucapan ”binatang yang mengeong” kita akan langsung mengetahui apa yang dimaksud ucapan itu adalah “kucing”. Hal ini dimungkinkan karena kita sudah memahami dan menggunakan ungkapan “binatang yang mengeong” itu memberi istilah kepada “kucing”. Penunjukan bentuk ini disebut “wadha’iyyah”
     
      2. Dilalah ghairu lafzhiyyah (دِلَالَةٌ غَيْرُ لَفْظِيَّةُ) atau dilalah selain lafaz.
            Yaitu dalil yang digunakan bukan dalam bentuk suara, bukan lafaz dan bukan pula dalam bentuk kata. hal ini berarti bahwa “diam” atau “tidak bersuaranya” sesuatu dapat pula memberi petunjuk kepada sesuatu, contohnya: seperti “raut muka” seseorang mengandung maksud tertentu.[3]
      Sesuatu itu dapat diketahui maksudnya melalui hal-hal sebagai berikut:
a)      Melalui hal-hal yang bersifat alami yang dapat dipahami oleh semua orang di mana saja. Contoh: muka pucat menunjukkan sakit.
Hal ini dapat di ketahui bahwa secara alamiah tanpa dibuat-buat, bila seseorang barada dalam kesakitan, maka mukanya akan pucat. Pucat itu timbul dengan sendirinya dari rasa sakit itu.
b)      Melalui akal. Maksudnya, meskipun tidak ada suara atau kata, namun akal dapat mengetahui apa yang terdapat dibalik diamnya sesuatu. Contoh: asap menunjukkan adanya api. Karena asap yang mengepul menunjukan adanya api di dalamnya. Meskipun tidak ada petunjuk dalam bentuk suara atau kata, namun seseorang melalui akalnya dapat mengetahuinya, karena menurut pertimbangan akal: “dimana ada asap pasti ada api”.
c)      Melalui kebiasaan dalam menggunakan sesuatu sebagai tanda atau isyarat untuk maksud tertentu. Contoh: huruf H di depan nama seseorang menunjukkan bahwa orang itu sudah haji. Hal itu dapat di ketahui karena sudah menjadi kebiasaan yang dapat dipahami bersama bahwa orang yang sudah haji menambahkan huruf H di depan namanya, tanpa ada orang yang menyuruhnya. Penggunaan tanda atau isyarat, baik dengan huruf atau tanda lainya, banyak digunakan dalam kehidupan. Maksudnya untuk penghematan bahasa. Dengan cara itu, maka sedemikian banyak maksud yang disampaikan dalam komunikasi dapat disingkat dengan menggunakan lambang dalam bentuk sebuah huruf atau tanda. 

B. Perbedaan Antara Aliran Hanafiah Dan Syafi’iah
a.      Dilalah Menurut Ulama Hanafiyah
            Ulama Hanafiyah membagi dilalah kepada dua macam, yaitu dilalah lafzhiyyah dan dilalah ghairu lafziyyah.[4]
            1. Dilalah lafzhiyyah (دِلَالَةُ لَفْظِيَّةُ) Ialah yang menjadi dalil adalah lafaz menurut lahirnya. Dilalah lafzhiyyah dibagi empat macam.[5]
1)      Dilalah ‘ibarah, dilalah yang dapat dipahami dari apa yang disebut dalam lafaz, baik dalam bentuk nash atau dzahir.
2)      Dilalah isyarah, dilalah isyarah adalah lafaz yang dilalahnya terdapat sesuatu tidak dimaksud untuk itu menurut asalnya.
3)      Dilalah nash, dilalah lafaz yang disebutkan dalam penetapan hukum untuk yang tidak disebutkan karena ada hubungannya yang dapat dipahami berdasarkan pemahaman dari segi bahasa atau dapat dikatakan dilalah nash adalah penunjukan oleh lafadz yang “tersurat” terhadap apa yang “tersirat” di balik lafadz tersebut.
4)      kebenaran dan keshahihannya tergantung pada  dilalah al-iqtidha’ (دِلَالَةُ الِاقْتِضَاءُ) Dilalah iqtidha’ adalah lafaz yang menunjukkan kepada sesuatu yang tidak disebutkan, yang makna disebutkan itu.
            2. Dilalah ghairu lafzhiyyah (دِلَالَةُ غَيْرُ لَفْظِيَّةُ) Dilalah ghairu lafziyyah ialah yang menjadi dalil bukan melalui lafaz menurut lahirnya. Menurut Ulama Hanafiyah ada empat macam, yaitu:
1)   اَنْ يَلْزَم عَنْ مَذْكُوْرِ مَسْكُوْتِ عَنْهُ Kelaziman dari menyebutkan sesuatu untuk menetapkan hukum terhadap yang tidak disebutkan.
Bila dalam suatu lafaz disebutkan hukum secara tersurat, maka dibalik yang tersurat itu dapat diketahui pula hukum lain meskipun tidak tersurat dalam lafaz itu.
2)   دلَالَة حَالِ السَّاكِتِ الَّذِىْ كَانَتْ وَظِيْفَتُهُ البَيَان مُطْلَقًا Dilalah (penunjukkan) keadaan diamnya seseorang yang fungsinya adalah untuk memberi penjelasan.
3)   اِعْتِبَارُ سُكُوْتِ السَّاكِتِ دَلَالَةُ كَالنُّطْقِ لِدَفْعِ التَّغْرِيْرِ Menganggap diamnya seseorang yang diam sebagai berbicara untuk menghindarkan penipuan.
4)    دلَالَةُ السُّكُوْتِ عَلَى تَعْيِيْنِ مَعْدُوْدٍ تَعُوْدُ حَذْفُهُ ضَرُوْرَةَ طُوْلِ الكَلَامِ بِذِكْرِهِ  Dilalah sukut (penunjukan diam) yang menyatakan ma’dud (sesuatu yang terbilang) namun telah biasa dibuang untuk menghindarkan panjangnya ucapan kalau disebutka

b. Dilalah Menurut Syafi’iyah
                   Suatu lafazh menurut syfi’iyah bisa menunjukkan kepada dua macam makna yaitu mantuk dan mafhum. Dilalah mantuk dalam istilah Hanafiah mencakup tiga dilalah yaitu ‘ibarah, isyarah dan iqtidha’ al-nash, sedangkan dilalah mafhum dalam Hanafiah sama dengan dilalah al-nash. [6]

                               1. Mantuq adalah petunjuk lafazh pada hukum yang disebut oleh lafazh itu sendiri. Petunjuk yang dikandungnya itu bisa diketahui dengan melihat atau memperhatikan kalimat yang dilafalkan. Contoh:
فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَام
     "…Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan `umrah sebelum haji (didalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil-haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah)…"
     Dari ayat di atas, terdapat kalimat "berpuasa tiga hari waktu haji dan tujuh hari ketika sudah pulang, dan itulah sepuluh hari yang sempurna". Dari kalimat tersebut dapat dipahami mantuq-nya berupa kewajiban sejumlah yang disebutkan, yakni sepuluh hari.
    
     2. Mafhum adalah petunjuk lafazh pada suatu hukum yang tidak disebutkan oleh lafazh itu sendiri, tidak bisa hanya dengan melihat langsung dari hurufnya tapi harus dengan pemahaman yang mendalam.
     Dalalah mafhum ini terbagi ke dalam dua bagian, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
     a. Mafhum muwafaqah. Dalam istilah ulama Hanafiyah disebut juga dengan dilalah al-nash, yaitu suatu petunjuk kalimat yang menunjukkan bahwa hukum yang tertulis pada kalimat itu berlaku pada masalah yang tidak tertulis, namun hukum yang tidak tertulis itu sesuai dengan hukum yang tertulis karena ada persamaan dalam makna. Disebut mafhum muwafaqah karena hukum yang tidak tertulis itu sesuai dengan hukum yang tertulis.
        Fahwa al-khithab adalah hukum yang tidak tertulis lebih berat penekanannya dari pada hukum yang tertulis. Contoh
فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلا كَرِيمً
     Ayat tersebut melarang berkata kasar kepada orang tua. Berdasarkan pemahaman kesesuaian (mafhum muwafaqah) maka memukul dan menganiaya orang tua hukumnya lebih berat dari pada berkata kasar kepada meraka.
         Lahn al-khithab adalah hukum yang tidak tertulis sama tindakan hukumnya dengan hukum yang tertulis. Contoh:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرً
     Ayat di atas menunjukkan bahwa memakan harta anak yatim secara zhalim dilarang, maka membakar atau membuangnya hukumnya juga dilarang karena sama-sama menghilangkan harta anak yatim.
           
            b.    Mafhum mukhalafah. Adalah petunjuk lafazh yang menunjukkan bahwa hukum yang lahir dari lafazh itu berlaku bagi masalah yang tidak disebutkan dalam lafazh, dan hukumnya bertentangan dengan hukum yang lahir darimantuq-nya, karena tidak ada batasan yang berpengaruh dalam hukum.
     Mafhum mukhalafah menurut jenisnya terdiri dari beberapa macam. Ada yang membagi menjadi lima[7], yaitu laqab, shifat, syarth, ghayah dan 'adad,ada yang membagi empat, yaitu shifat (termasuk di dalamnya 'adad),syarth, ghayah dan hashr. Ada juga yang menjadikan hashr bagian dari yang pertama, menurutnya mafhum mukhalafah terbagai menjadi enam bagian.
                  
                  


                   c. Tingkatan Dilalah
                   Ditinjau dari segi kuat dan lemahnya, ulama Hanafiyah menggolongkan dilalah menjadi empat, yaitu:[8]
1.      Dilalah al-'Ibarah
2.      Dilalah al-Isyarah
3.      Dilalah al-Nash
4.      Dilalah al-Iqtidha’
     Tingkatan-tingkatan tersebut mempunyai konsekuensi ketika terjadi kontradiksi antara dilalah yang satu dengan yang lain. Bila hal itu terjadi, maka yang harus didahulukan adalah dilalah yang tingkatannya paling tinggi.
     Contoh dari didahulukannya penggunaan dilalah 'ibarah dibandingkan dengan dalalah isyarah. Dalam firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى
     “Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh”.(al-Baqarah: 178)
Dengan firman Allah:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا
     "Dan barang siapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka jahannam, kekal di dalamnya”.(al-Nisa’: 93)
                Bila dibandingkan dengan pembunuhan yang tidak disengaja, secara implisit ayat kedua menunjukkan bahwa balasan bagi pembunuh yang sengaja hanya siksaan di akhirat dan tidak dinyatakan adanya hukum qisas. Akan tetapi ayat yang pertama secara eksplisit menjelaskan bahwa adanya qisas bagi pembunuh.Oleh karena itu, pengertian secara eksplisit pada ayat pertama didahulukan dari ayat kedua.
           
           

            C. Contoh Perbedaan Pendapat Yang Muncul Karna Perbedaan Tentang Kaidah Ini
Terdapat perbedaan pedapat antara syafi’iyah dan Hanafiah. Syafi’iyah berpendapat bahwa pengertian  dilalah  nash  dipahami  langsung dari  nash (lebih dekat kepada dilalah 'ibarah ).[9] Maka pengertian yang dipahami secara eksplisit lebih dapat dipertanggung jawabkan dari pada pengertian secara implisit yang dapat menimbulkan berbagai macam pemahaman. Disamping itu, menurut pandangan  syara’ tujuan yang terkandung dalam  pengertian  dalalah nash  lebih nyata  dibanding dengan  dilalah  isyarah. Menurut Hanafiyah, sebab didahulukannya  dilalah  isyarah  daripada  dilalahnash  adalah karena  dilalah  isyarah   diperoleh dari konteks suatu nash. yang bila suatu akibat disebutkan, maka sebagai konsekuensi logisnya termasuk di dalamnya. Menurut Imam Abu Zahrah, perbedaan pendapat para ulama juga terjadi karena adanya dilalah yang penjelasannya berkaitan erat dengan nash sunah, seperti sunah yang men-takhshish  keumuman  dilalah  Al-Qur’an. Dalam hal ini, para ulama berbeda pandangan. Imam Asy-Syafi’I, Ahmad Ibnu Hambal, dan ulama lainnya berpendapat bahwa pemahaman Al-Qur’an itu mesti disesuaikan dengan keterangan yang ada dalam Sunnah, karena  sunah  berfungsi  sebagai  penjelas  dan penafsir Al-Qur’an, dan juga sebagai takhsis  terhadap ayat-ayat yang  mujmal (umum), sehingga artinya menjadi jelas. Contohnya sangat banyak, dan para ulama pun bila tidak menemukan penafsirannya dari Sunah.
Dengan demikian, semua lafazh ‘amm yang ada dalam Al-Qur’an jika sudah ada keterangan dalam hadis,  meskipun  menyalahi zahir ayat tersebut, harus di-takhsish dengan sunah.





DAFTAR PUSTAKA

            Drs. Totok Jumanto, MA dan Drs. Samsul Munir Amin, M.ag, Kamus Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta: Amza. hlm. 37.

Alyasa, Abu Bakar, Metode Istinbat Fiqih di Indonesia, Yogyakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1987.
            http://www.abdulhelim.com/2012/5/dilalah dalam-perspektif -hanafiyah, di akses tgl 01-11-2015

            http://satiafauziah.blogspot.com/2009/06/dilalah-hanafiya.html di akses tgl 02-11-2015

            ibid
            Khalaf, Abdul Wahab, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, cet. VIII, 1984.

            http://www.abdulhelim.com/2012/5/dilalah dalam-perspektif -hanafiyah

Muhammad, Abu, Zahrah, Ushul Fiqih, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2008




                [1]  Drs. Totok Jumanto, MA dan Drs. Samsul Munir Amin, M.ag, Kamus Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta: Amza. hlm. 37.

                [2] Alyasa, Abu Bakar, Metode Istinbat Fiqih di Indonesia, Yogyakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1987.

                [3] http://www.abdulhelim.com/2012/5/dilalah dalam-perspektif -hanafiyah, di akses tgl 01-11-2015
                             [4] http://satiafauziah.blogspot.com/2009/06/dilalah-hanafiya.html di akses tgl 02-11-2015

                [5]  ibid
                [6] Khalaf, Abdul Wahab, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, cet. VIII, 1984.

                [7] Yang membagi mafhum mukhalafah menjadi lima diantaranya adalah Muhammad al-Khudlari, Ushul al-Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr, 1988.
                [8] http://www.abdulhelim.com/2012/5/dilalah dalam-perspektif -hanafiyah
[9] Muhammad, Abu, Zahrah, Ushul Fiqih, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2008