BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Sumber hukum utama umat islam
adalah al-qur’an dan al-hadist, karena dari dua pedoman itu sangat banyak
terkandung petunjuk hidup yang terdapat di dalamnya, baik itu petunjuk hidup
kita di dunia yang sangat beragam mulai dari kita lahir sampai kita meninggal,
dan juga sebagai petunjuk bagaimana menuju jalan akhirat dengan mendapatkan
keridhaan Allah swt. Al-qur’an dan hadis yang dijadikan sebagai sumber hukum
memberikan berbagai pengertian yang dapat digali dari berbagai lafaz-lafaz yang
terdapat didalamnya. Nah untuk menggali dan mengenali bagaimana kita bisa lebih
paham terhadap lafaz-lafaz tersebut maka dapat dipahami melalui metode kajian “dilalah
lafziyah dan dilalah ghairu lafzhiyah”. Kedua dilalah ini apabila ditinjau
dari segi bentuk dalil yang digunakan dalam mengetahui sesuatu lafaz yang
terdapat dalam al-qur’an dan sunnah, sebagaimana dijelaskan di dalam buku bapak
Amir Syarifuddin.
Defenisi
dari dilalah itu sendiri secara umum adalah ”memahami sesuatu atas sesuatu”.
Yang dimaksud dengan sesuatu yang pertama disebut dengan “ madlul” (yang
ditunjuk) atau dimaksud dengan hukum itu sendiri. Sedangkan kata sesuatu
yang kedua disebut dengan dalil hukum atau yang menjadi
petunjuk. Menurut ulama hanafiah bahwasannya dilalah ini dibagi
kepada dua macam, pertama dilalah lafzhiyah dan kedua dilalah ghairu lafzhiyah.
Untuk lebih jelasnya apa itu yang disebut lafaz ghairu lafzhiyah tersebut maka
nanti kami jelaskan secara lebih mendetail di bab pembahasan.
Di
dalam makalah ini penulis lebih memfokuskan pembahasan tentang bagaimana dan
apa-apa saja yang termasuk ke dalam dalalah ghairu lafzhiyah menurut
golongan Hanafiyah. Harapan kami yang sebesar-besarnya kepada pembaca, Karena
makalah ini masih tidak luput dari kekurangan baik itu dari segi isi (materi),
walaupun dari cara penulisannya, supaya pembaca memberikan sebuah kritikan dan
saran yang bersifat konstruktif.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Dan Macam-Macam Dilalah
Dilalah adalah petunjuk yang menunjukkan
kepada yang di maksudkan atau memahami sesuatu atas sesuatu. Kata sesuatu yang
disebutkan pertama disebut Madlul (المدلول) - yang ditunjuk.
Dalam hubungannya dengan hukum, yang disebut madlul adalah
hukum itu sendiri. Kata sesuatu yang disebutkan kedua kalinya disebut dalil (دليل) - yang menjadi
petunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum dalil itu disebut
dalil hukum. Di dalam Al Misbah Al Munir, dijelaskan bahwa :
الدلالة
مايقتضيه اللفظ عند الإطلاق
Ditinjau
dari segi bentuk dalil yang digunakan dalam mengetahui sesuatu, dilalah itu ada
dua macam:
1. Dilalah
lafzhiyyah (الدِلَالَةُ اللَّفْظِيَّةُ) (penunjuk berupa lafaz) Yaitu
dilalah dengan dalil yang digunakan untuk memberi petunjuk kepada sesuatu dalam
bentuk lafaz, suara atau kata.[2]
Dengan demikian, lafaz, suara dan kata menunjukkan kepada maksud tertentu.
Penunjukannya pada maksud tertentu itu diketahui melalui tiga hal:
a)
Melalui hal yang besifat alami yang menunjukkan
pada maksud tertentu yang dapat diketahui oleh setiap orang diseluruh alam ini.
Contohnya: “Rintihan”, maksudnya adalah yang keluar dari mulut seseorang adalah memberi petunjuk bahwa orang yang mengeluarkan suara rintihan itu berada dalam kesakitan. Penunjukkan dilalah seperti ini disebut thabi’iyyah
Contohnya: “Rintihan”, maksudnya adalah yang keluar dari mulut seseorang adalah memberi petunjuk bahwa orang yang mengeluarkan suara rintihan itu berada dalam kesakitan. Penunjukkan dilalah seperti ini disebut thabi’iyyah
b)
Melalui akal. Maksudnya, dengan perantaraan akal
pikiran seseorang dapat mengetahui bahwa suara atau kata yang didengarnya memberi petunjuk pada maksud tertentu. Contohnya: suara kendaraan
menunjukkan adanya bentuk kendaraan
tertentu yang lewat dibelakang rumah itu. Dengan adanya “suara” itu dapat
dicerna oleh akal bahwa suara itu adalah suara kendaraan jenis tertentu, meskipun
kendaraan itu belum dilihat secara nyata. Penunjukan secara suara tersebut
dinamai “aqliyah” (عَقْلِيَّةُ)
c)
Melalui istilah yang dipahami dan digunakan
bersama untuk maksud tertentu. Contohnya: kalau kita mendengar ucapan ”binatang yang
mengeong” kita akan langsung mengetahui apa yang dimaksud ucapan itu adalah
“kucing”. Hal ini dimungkinkan karena kita sudah memahami dan menggunakan
ungkapan “binatang yang mengeong” itu memberi istilah kepada “kucing”. Penunjukan
bentuk ini disebut “wadha’iyyah”
2. Dilalah ghairu lafzhiyyah (دِلَالَةٌ
غَيْرُ لَفْظِيَّةُ) atau dilalah selain lafaz.
Yaitu dalil yang digunakan bukan dalam bentuk suara, bukan lafaz dan bukan pula dalam bentuk kata. hal ini berarti bahwa “diam” atau “tidak bersuaranya” sesuatu dapat pula memberi petunjuk kepada sesuatu, contohnya: seperti “raut muka” seseorang mengandung maksud tertentu.[3]
Yaitu dalil yang digunakan bukan dalam bentuk suara, bukan lafaz dan bukan pula dalam bentuk kata. hal ini berarti bahwa “diam” atau “tidak bersuaranya” sesuatu dapat pula memberi petunjuk kepada sesuatu, contohnya: seperti “raut muka” seseorang mengandung maksud tertentu.[3]
Sesuatu itu dapat
diketahui maksudnya melalui hal-hal sebagai berikut:
a)
Melalui hal-hal yang bersifat alami yang dapat dipahami oleh semua
orang di mana saja. Contoh: muka pucat menunjukkan sakit.
Hal ini dapat di ketahui bahwa secara alamiah tanpa dibuat-buat, bila seseorang barada dalam kesakitan, maka mukanya akan pucat. Pucat itu timbul dengan sendirinya dari rasa sakit itu.
Hal ini dapat di ketahui bahwa secara alamiah tanpa dibuat-buat, bila seseorang barada dalam kesakitan, maka mukanya akan pucat. Pucat itu timbul dengan sendirinya dari rasa sakit itu.
b)
Melalui akal. Maksudnya, meskipun tidak ada suara atau kata, namun
akal dapat mengetahui apa yang terdapat dibalik diamnya sesuatu. Contoh: asap
menunjukkan adanya api. Karena asap yang mengepul menunjukan adanya api di
dalamnya. Meskipun tidak ada petunjuk dalam bentuk suara atau kata, namun seseorang
melalui akalnya dapat mengetahuinya, karena menurut pertimbangan akal: “dimana
ada asap pasti ada api”.
c)
Melalui kebiasaan dalam menggunakan sesuatu sebagai tanda atau
isyarat untuk maksud tertentu. Contoh: huruf H di depan nama seseorang
menunjukkan bahwa orang itu sudah haji. Hal itu dapat di ketahui karena sudah
menjadi kebiasaan yang dapat dipahami bersama bahwa orang yang sudah haji
menambahkan huruf H di depan namanya, tanpa ada orang yang menyuruhnya. Penggunaan
tanda atau isyarat, baik dengan huruf atau tanda lainya, banyak digunakan dalam
kehidupan. Maksudnya untuk penghematan bahasa. Dengan cara itu, maka sedemikian
banyak maksud yang disampaikan dalam komunikasi dapat disingkat dengan
menggunakan lambang dalam bentuk sebuah huruf atau tanda.
B. Perbedaan Antara Aliran Hanafiah Dan Syafi’iah
a.
Dilalah Menurut Ulama Hanafiyah
Ulama
Hanafiyah membagi dilalah kepada dua macam, yaitu dilalah lafzhiyyah dan
dilalah ghairu lafziyyah.[4]
1. Dilalah lafzhiyyah (دِلَالَةُ لَفْظِيَّةُ) Ialah yang menjadi dalil
adalah lafaz menurut lahirnya. Dilalah lafzhiyyah dibagi empat macam.[5]
1)
Dilalah ‘ibarah, dilalah yang dapat dipahami dari
apa yang disebut dalam lafaz, baik dalam bentuk nash atau dzahir.
2)
Dilalah isyarah, dilalah isyarah adalah lafaz yang
dilalahnya terdapat sesuatu tidak dimaksud untuk itu menurut asalnya.
3)
Dilalah nash, dilalah lafaz yang disebutkan dalam
penetapan hukum untuk yang tidak disebutkan karena ada hubungannya yang dapat
dipahami berdasarkan pemahaman dari segi bahasa atau dapat dikatakan dilalah
nash adalah penunjukan oleh lafadz yang “tersurat” terhadap apa yang “tersirat”
di balik lafadz tersebut.
4)
kebenaran dan keshahihannya tergantung pada dilalah al-iqtidha’ (دِلَالَةُ الِاقْتِضَاءُ) Dilalah iqtidha’ adalah
lafaz yang menunjukkan kepada sesuatu yang tidak disebutkan, yang makna
disebutkan itu.
2. Dilalah
ghairu lafzhiyyah (دِلَالَةُ غَيْرُ لَفْظِيَّةُ) Dilalah ghairu lafziyyah
ialah yang menjadi dalil bukan melalui lafaz menurut lahirnya. Menurut Ulama
Hanafiyah ada empat macam, yaitu:
1)
اَنْ يَلْزَم عَنْ مَذْكُوْرِ مَسْكُوْتِ عَنْهُ Kelaziman dari menyebutkan sesuatu untuk menetapkan hukum
terhadap yang tidak disebutkan.
Bila dalam suatu lafaz disebutkan hukum secara tersurat, maka dibalik yang tersurat itu dapat diketahui pula hukum lain meskipun tidak tersurat dalam lafaz itu.
Bila dalam suatu lafaz disebutkan hukum secara tersurat, maka dibalik yang tersurat itu dapat diketahui pula hukum lain meskipun tidak tersurat dalam lafaz itu.
2)
دلَالَة حَالِ السَّاكِتِ الَّذِىْ كَانَتْ
وَظِيْفَتُهُ البَيَان مُطْلَقًا Dilalah (penunjukkan)
keadaan diamnya seseorang yang fungsinya adalah untuk memberi penjelasan.
3)
اِعْتِبَارُ سُكُوْتِ السَّاكِتِ دَلَالَةُ
كَالنُّطْقِ لِدَفْعِ التَّغْرِيْرِ Menganggap diamnya seseorang yang diam sebagai
berbicara untuk menghindarkan penipuan.
4)
دلَالَةُ السُّكُوْتِ عَلَى تَعْيِيْنِ مَعْدُوْدٍ تَعُوْدُ حَذْفُهُ
ضَرُوْرَةَ طُوْلِ الكَلَامِ بِذِكْرِهِ
Dilalah sukut (penunjukan diam) yang menyatakan
ma’dud (sesuatu yang terbilang) namun telah biasa dibuang untuk menghindarkan
panjangnya ucapan kalau disebutka
b. Dilalah Menurut
Syafi’iyah
Suatu lafazh menurut syfi’iyah bisa menunjukkan kepada dua macam makna
yaitu mantuk dan mafhum. Dilalah mantuk dalam istilah Hanafiah
mencakup tiga dilalah yaitu ‘ibarah, isyarah dan iqtidha’ al-nash, sedangkan
dilalah mafhum dalam Hanafiah sama dengan dilalah al-nash. [6]
1. Mantuq adalah petunjuk lafazh pada hukum yang disebut
oleh lafazh itu sendiri. Petunjuk yang dikandungnya itu bisa diketahui dengan
melihat atau memperhatikan kalimat yang dilafalkan. Contoh:
فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا
اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي
الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَنْ
لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَام
"…Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang
ingin mengerjakan `umrah sebelum haji (didalam bulan haji), (wajiblah ia
menyembelih) kurban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan
(binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa
haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh
(hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang
yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil-haram (orang-orang yang
bukan penduduk kota Mekah)…"
Dari ayat di atas, terdapat kalimat "berpuasa tiga hari
waktu haji dan tujuh hari ketika sudah pulang, dan itulah sepuluh hari yang
sempurna". Dari kalimat tersebut dapat dipahami mantuq-nya
berupa kewajiban sejumlah yang disebutkan, yakni sepuluh hari.
2. Mafhum adalah petunjuk lafazh pada suatu
hukum yang tidak disebutkan oleh lafazh itu sendiri, tidak bisa hanya dengan
melihat langsung dari hurufnya tapi harus dengan pemahaman yang mendalam.
Dalalah mafhum ini
terbagi ke dalam dua bagian, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum
mukhalafah.
a. Mafhum muwafaqah. Dalam
istilah ulama Hanafiyah disebut juga dengan dilalah al-nash, yaitu
suatu petunjuk kalimat yang menunjukkan bahwa hukum yang tertulis pada kalimat
itu berlaku pada masalah yang tidak tertulis, namun hukum yang tidak tertulis
itu sesuai dengan hukum yang tertulis karena ada persamaan dalam makna. Disebut mafhum muwafaqah karena
hukum yang tidak tertulis itu sesuai dengan hukum yang tertulis.
Fahwa al-khithab adalah hukum yang tidak tertulis lebih berat penekanannya dari pada
hukum yang tertulis. Contoh
فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا
وَقُلْ لَهُمَا قَوْلا كَرِيمً
Ayat tersebut melarang berkata kasar kepada orang tua.
Berdasarkan pemahaman kesesuaian (mafhum muwafaqah) maka
memukul dan menganiaya orang tua hukumnya lebih berat dari pada berkata kasar
kepada meraka.
Lahn
al-khithab adalah hukum yang tidak tertulis sama tindakan hukumnya
dengan hukum yang tertulis. Contoh:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا
يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرً
Ayat di atas menunjukkan bahwa memakan harta anak yatim secara
zhalim dilarang, maka membakar atau membuangnya hukumnya juga dilarang karena
sama-sama menghilangkan harta anak yatim.
b. Mafhum
mukhalafah. Adalah petunjuk lafazh yang menunjukkan bahwa hukum yang
lahir dari lafazh itu berlaku bagi masalah yang tidak disebutkan dalam lafazh,
dan hukumnya bertentangan dengan hukum yang lahir darimantuq-nya, karena
tidak ada batasan yang berpengaruh dalam hukum.
Mafhum mukhalafah menurut
jenisnya terdiri dari beberapa macam. Ada yang membagi menjadi lima[7],
yaitu laqab, shifat, syarth, ghayah dan 'adad,ada
yang membagi empat, yaitu shifat (termasuk di dalamnya 'adad),syarth,
ghayah dan hashr. Ada juga yang menjadikan hashr bagian
dari yang pertama, menurutnya mafhum mukhalafah terbagai
menjadi enam bagian.
c. Tingkatan
Dilalah
Ditinjau dari segi
kuat dan lemahnya, ulama Hanafiyah menggolongkan dilalah menjadi
empat, yaitu:[8]
1. Dilalah al-'Ibarah
2. Dilalah al-Isyarah
3. Dilalah al-Nash
4. Dilalah al-Iqtidha’
Tingkatan-tingkatan tersebut
mempunyai konsekuensi ketika terjadi kontradiksi antara dilalah yang
satu dengan yang lain. Bila hal itu terjadi, maka yang harus didahulukan
adalah dilalah yang tingkatannya paling tinggi.
Contoh dari didahulukannya
penggunaan dilalah 'ibarah dibandingkan dengan dalalah
isyarah. Dalam firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى
“Wahai orang-orang yang beriman
diwajibkan atas kamu qisas berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh”.(al-Baqarah: 178)
Dengan firman Allah:
وَمَنْ يَقْتُلْ
مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا
"Dan
barang siapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya
adalah neraka jahannam, kekal di dalamnya”.(al-Nisa’: 93)
Bila dibandingkan dengan pembunuhan yang
tidak disengaja, secara implisit ayat kedua menunjukkan bahwa balasan bagi
pembunuh yang sengaja hanya siksaan di akhirat dan tidak dinyatakan adanya
hukum qisas. Akan tetapi ayat yang pertama secara eksplisit menjelaskan bahwa
adanya qisas bagi pembunuh.Oleh karena itu, pengertian secara eksplisit pada
ayat pertama didahulukan dari ayat kedua.
C. Contoh Perbedaan Pendapat Yang Muncul Karna Perbedaan Tentang
Kaidah Ini
Terdapat perbedaan pedapat antara syafi’iyah dan
Hanafiah. Syafi’iyah berpendapat bahwa pengertian dilalah nash
dipahami langsung dari nash (lebih
dekat kepada dilalah 'ibarah ).[9] Maka
pengertian yang dipahami secara eksplisit lebih dapat dipertanggung jawabkan
dari pada pengertian secara implisit yang dapat menimbulkan berbagai macam
pemahaman. Disamping itu, menurut pandangan syara’ tujuan yang terkandung dalam pengertian dalalah nash lebih
nyata dibanding dengan dilalah isyarah. Menurut
Hanafiyah, sebab didahulukannya dilalah isyarah daripada
dilalahnash adalah karena dilalah isyarah diperoleh dari konteks suatu nash. yang
bila suatu akibat disebutkan, maka sebagai konsekuensi logisnya termasuk di
dalamnya. Menurut Imam Abu
Zahrah, perbedaan pendapat para ulama juga terjadi karena adanya dilalah yang
penjelasannya berkaitan erat dengan nash sunah, seperti sunah yang men-takhshish
keumuman dilalah Al-Qur’an. Dalam hal ini,
para ulama berbeda pandangan. Imam Asy-Syafi’I, Ahmad Ibnu Hambal, dan ulama
lainnya berpendapat bahwa pemahaman Al-Qur’an itu mesti disesuaikan dengan
keterangan yang ada dalam Sunnah, karena sunah berfungsi sebagai penjelas dan penafsir Al-Qur’an, dan juga sebagai takhsis
terhadap ayat-ayat yang mujmal (umum), sehingga
artinya menjadi jelas. Contohnya sangat banyak, dan para ulama pun bila tidak
menemukan penafsirannya dari Sunah.
Dengan demikian,
semua lafazh ‘amm yang ada dalam Al-Qur’an jika sudah ada
keterangan dalam hadis, meskipun menyalahi zahir ayat tersebut, harus di-takhsish dengan
sunah.
DAFTAR
PUSTAKA
Drs.
Totok Jumanto, MA dan Drs. Samsul Munir Amin, M.ag, Kamus Ilmu Ushul Fiqih.
Jakarta: Amza. hlm. 37.
Alyasa, Abu Bakar, Metode Istinbat Fiqih di
Indonesia, Yogyakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1987.
ibid
Khalaf,
Abdul Wahab, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, cet. VIII,
1984.
Muhammad, Abu, Zahrah, Ushul Fiqih, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2008